Mundurnya Dominasi WASP Akibat Munculnya Kelompok Minoritas dan Teori Kritis di Amerika Serikat

Aldyth Nelwan Airlangga
7 min readNov 6, 2020

--

White Anglo-Saxon Protestant (WASP) adalah mayoritas masyarakat yang berada di Amerika Serikat. Mereka berkulit putih, mempunyai keturunan Inggris, dan menganut agama kristen protestan. Untuk memahami alasan mereka menjadi mayoritas di Amerika Serikat, kita harus melihat dari sejarah panjang yang dimiliki Anglo-Saxon. Kata Anglo-Saxon merujuk pada keturunan dari suku Angles dan Saxon yang dianggap sebagai nenek moyang bangsa Inggris. Mereka bermigrasi ke Amerika Serikat saat Inggris menjajah Amerika Serikat selama masa kolonisasi. Pada awal revolusi Amerika, dari total populasi di Amerika Serikat, 60% mempunyai keturunan Inggris, 80% berasal dari Inggris, dan 98% menganut agama Protestan.¹ Dari penjelasan di atas, cukup jelas bagaimana WASP menjadi masyarakat yang dominan di Amerika Serikat.

Eko Rujito dalam jurnalnya juga menjelaskan bahwa homogenitas Amerika Serikat pada awal revolusi membuat WASP menjadi acuan dari bangsa Amerika Serikat. Hal tersebut dapat kita lihat dari pidato salah satu founding father dan Presiden ketiga Amerika Serikat, Thomas Jefferson yang mengatakan bahwa orang Amerika adalah keturunan dari suku Saxon dan mendapatkan kehormatan untuk menjadi penerus, pewaris, dan dari mereka kita juga mewarisi prinsip-prinsip politik dan tata pemerintahan.² Hal-hal yang disebutkan di atas membuat mereka mempunyai satu rasa kesatuan yang memiliki satu asal dan satu tujuan. Etnis dan agama sangat berperan dalam proses bina bangsa suatu negara. Contohnya adalah Indonesia yang politiknya didominasi oleh Jawa dan Islam sebagai mayoritas. Begitupun juga dengan Amerika Serikat yang politiknya sangat didominasi oleh WASP.

Dominasi WASP dalam kontestasi politik di Amerika Serikat sangat jelas terlihat. Bahkan WASP menjadi tolak ukur dan kriteria seseorang dapat menjadi presiden, meskipun secara tidak resmi. Dari 45 orang yang pernah menjabat sebagai presiden Amerika Serikat, hanya dua orang yang tidak memenuhi kriteria WASP. Yang pertama adalah John F. Kennedy yang menganut agama katolik dan Barack Obama yang berkulit hitam. Terpilihnya Barack Obama sebagai presiden seolah menjadi pertanda dominasi WASP yang mulai memudar di Amerika Serikat.

Terdapat beberapa alasan dominasi WASP dapat memudar. Banyak penduduk Amerika Serikat yang juga bukan WASP. Mereka datang dari berbagai daerah di dunia. Berdasarkan data sensus Amerika Serikat pada tahun 2010, meskipun orang berkulit putih masih berjumlah 72% dari total populasi Amerika Serikat, terdapat masyarakat Hispanik dan orang berkulit hitam dengan jumlah yang cukup besar di Amerika Serikat. Selain itu, pemikiran konservatif juga sudah tidak begitu populer karena seiring dengan berkembangnya zaman, nilai-nilai liberal dan demokrasi semakin populer di dunia. Terlebih, Amerika Serikat adalah negara yang paling gencar mempromosikan demokrasi dan nilai-nilai liberal. Meskipun begitu, tidak sedikit juga gerakan-gerakan yang menolak adanya etnis-etnis baru yang datang dengan jumlah besar tersebut.

Masalah yang lahir adalah ketika mereka melakukan diskriminasi terhadap orang-orang yang mereka anggap berbeda dari mereka. Contohnya adalah Ku Klux Klan yang merupakan kelompok white supremacist yang sangat anti terhadap orang berkulit hitam. Tidak hanya kepada orang berkulit hitam, mereka juga membenci Katolik dan Yahudi karena mereka menganggap orang Amerika yang tidak berkulit putih dan menganut agama protestan bukanlah orang Amerika sejati seperti mereka. Yang lebih mengherankan, Ku Klux Klan yang jelas rasis dan diskriminatif dapat menjadi kendaraan politik di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Dalam artian, haluan politik yang dianut oleh Ku Klux Klan disetujui oleh banyak masyarakat Amerika Serikat. Contoh dari seseorang yang menggunakan Ku Klux Klan menjadi kendaraan politik adalah David Duke. David Duke berhasil menjadi anggota House of Representative Louisana. Bahkan, David Duke pernah mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat, meskipun gagal.

Memudarnya dominasi WASP dalam kontestasi politik Amerika Serikat dapat dikaji menggunakan perspektif teori kritis. Teori kritis lahir karena terinspirasi dari pemikiran-pemikiran Karl Marx. Hal tersebut menyebabkan keduanya memiliki beberapa asumsi yang dapat dikatakan mirip. Tujuan dari munculnya teori kritis dalam Studi Ilmu Hubungan Internasional adalah untuk mencapai level yang lebih tinggi dalam aspek kebebasan manusia di dunia. Secara spesifik, teori kritis disebut sebagai teori yang emansipatoris karena dianggap sebagai teori yang membahas masalah-masalah yang ada dalam komunitas. Membahas masalah eksklusivitas dan inklusivitas yang ada dalam komunitas.³ Hampir sama dengan marxisme yang fokus pada sistem kelas antara borjuis dan proletar yang bersifat eksploitatif.

Oleh karena itu, mundurnya dominasi WASP menurut penulis dapat dianggap sebagai pengimplementasian teori kritis, dimana tingkat inklusifitas masyarakat terus naik. Dimana kelompok minoritas di Amerika Serikat berhasil mendapatkan jabatan-jabatan strategis di pemerintahan. Orientasi masyarakat yang awalnya memilih berdasarkan etnis kini bergeser menjadi mengedepankan etos kerja dan kualitas personal seseorang. Inklusivitas masyarakat Amerika Serikat yang terus berkembamg, menurut penulis, terjadi seiring dengan perkembangan teori kritis. Menurut Linklater, teori kritis mulai mainstream di Studi Ilmu Hubungan Internasional pada tahun 1980-an.⁴ Kembali ke konteks Ku Klux Klan, David Duke mengundurkan diri dari klan tersebut pada tahun 1980 karena klan tersebut identik dengan kekerasan. Duke juga tidak lagi menggunakan narasi anti kulit hitam, melainkan menggantinya dengan pro kulit putih.⁵ Hal tersebut menurut penulis karena Duke sadar bahwa cara masyarakat Amerika memilih telah bergeser dan dia harus beradaptasi dengan pasar yang ada.

David Duke ketika masih menjadi anggota Ku Klux Klan

Sudah menjadi pengetahuan umum jika hanya ada dua partai yang berkontestasi secara nasional di Amerika Serikat, yaitu Partai Republik dan Demokrat. Yang menarik adalah bagaimana dua presiden bukan WASP sama-sama berasal dari partai demokrat. Hal tersebut dapat kita lihat dari demografi pemilih kedua partai tersebut. Pemilih Partai republik adalah orang tua berkulit putih, masyarakat desa, dan orang-orang yang tidak memiliki pendidikan tinggi.⁶ Sementara itu, pemilih Partai Demokrat adalah kelompok-kelompok minoritas seperti kulit hitam dan hispanik, berasal dari kota, dan memiliki pendidikan tinggi. Dukungan yang mereka dapat dari kelompok minoritas menjadi kunci kemenangan partai demokrat dalam popular vote di Amerika Serikat.⁷ Dari penggambaran tersebut, terlihat bahwa pemilih Partai Republik adalah masyarakat Amerika Serikat yang konservatif, sementara pemilih Partai Demokrat adalah masyarakat Amerika Serikat yang liberal.

Berdasarkan demografi pemilih tersebut, semakin terlihat pergeseran masyarakat Amerika Serikat yang semakin inklusif. Berdasarkan polling gallup 2015, 25% masyarakat Amerika Serikat adalah republikan, 16% condong republikan, sementara 30% adalah demokrat, dan 16% cenderung demokrat.⁸ Pasar politik yang semakin berpihak pada partai demokrat juga terbukti dengan kemenangan popular vote Partai Demokrat sejak pemilihan presiden pada tahun 1992. Setelah itu, Partai Demokrat hanya kalah dalam popular vote sekali pada tahun 2004. Puncak pergeseran tersebut menurut penulis adalah ketika Barack Obama dari Partai Demokrat berhasil terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Orang berkulit hitam, meskipun mempunyai kuantitas yang cukup besar, hanya berjumlah 12% dari total populasi Amerika Serikat. Data tersebut menunjukkan mayoritas masyarakat Amerika Serikat yang berkulit putih sudah mulai mengesampingkan etnis dan agama dalam memilih, mereka juga mau memilih kandidat politik yang secara jelas berbeda dengan mereka. Selain itu, data tersebut juga memperlihatkan bahwa kelompok minoritas lainnya cenderung memilih kelompok minoritas lain dalam suatu kontestasi politik (Hispanik yang merupakan populasi kedua terbesar setelah orang berkulit putih di Amerika Serikat.

Meskipun munculnya kelompok minoritas dan teori kritis membuat orientasi masyarakat Amerika Serikat dalam memilih kandidat politik bergeser, bukan berarti pandangan konservatif yang mendukung WASP hilang. Eksistensi mereka masih sangat signifikan dan juga masih mempunyai pasar yang besar, hanya berkurang saja. Buktinya adalah kemenangan Donald Trump pada tahun 2016 di pemilu Amerika Serikat. Penulis berpendapat bahwa pandangan konservatif tersebut hanya tertidur sejenak. Hal tersebut dikarenakan kontestasi politik sebelum Donald Trump masuk dipenuhi dengan tokoh-tokoh progresif dan liberal. Populernya tokoh-tokoh tersebut menyebabkan politikus untuk ikut menjadi progresif dan liberal karena tuntutan pasar, menyesuaikan dengan demand pasar. Oleh karena itu, jarang ditemui tokoh yang menyuarakan supremasi kulit putih dan tokoh yang terang-terangan konservatif. Begitu muncul sosok Donald Trump yang sangat konservatif melalui janji-janji politiknya masa kampanye, banyak masyarakat Amerika Serikat yang kembali tertarik karena akhirnya mempunyai sosok yang berani menyuarakan pandangan politik konservatif yang sudah menjadi tidak mainstream di Amerika Serikat karena dominasi pemikiran liberal dan progresif. Meskipun kalah dalam popular vote, Donald Trump berhasil menjadi presiden karena Amerika Serikat memilih presiden berdasarkan electoral vote.

Berdasarkan paparan-paparan yang sudah dijelaskan di atas, etnis dan agama hampir selalu menjadi aspek yang sangat signifikan dalam kontestasi politik. Negara seperti Amerika Serikat yang sangat kencang menyebarkan nilai-nilai liberalisme, masyarakatnya juga masih sangat memperhitungkan etnis dan agama dari suatu kandidat politik. Dominasi WASP semakin menurun karena semakin banyak kelompok minoritas yang dibarengi dengan semakin populernya teori kritis yang mempromosikan nilai-nilai emansipatoris dan inklusifitas. Tetapi, menurun bukan berarti serta merta hilang dan tergantikan. Kemenangan Donald Trump memperlihatkan bahwa masyarakat di Amerika Serikat masih sangat memegang nilai-nilai primordialisme.

REFERENSI

  1. Rujito, Eko. WASP DAN IDENTITAS AMERIKA. DIMENSIA 2, 2008.
  2. Hordsman, Reginal. Race and Manifest Destiny: The Origins of American Racial Anglo-Saxonism. Cambridge: Harvard University Press, 1981.
  3. Reus-Smit, Christian and Duncan Snidal. The Oxford Handbook of International Relations. Oxford: Oxford University Press, 2008.
  4. Linklater, Andrew. Beyond Realism and Marxism: Critical Theory and International Relations. Victoria: Palgrave, 1990.
  5. Rose, Douglas. The Emergence of David Duke and the Politics of Race. North Carolina: University of North Carolina Press, 1992.
  6. Barone, Michael, “Michael Barone: The Evolution of the Republican Party Voter.” Wall Street Journal. August 26, 2012. https://www.wsj.com/articles/SB10000872396390444506004577613060923763578
  7. Pew Research Center. “Wide Gender Gap, Growing Educational Divide in Voters’ Party Identification.” people-press. March 20, 2018. https://www.people-press.org/2018/03/20/wide-gender-gap-growing-educational-divide-in-voters-party-identification/
  8. Jones, Jeffrey M. “Democrats Regain Edge in Party Affiliation.” Gallup. July 2, 2015. https://news.gallup.com/poll/183887/democrats-regain-edge-party-affiliation.aspx

--

--

Aldyth Nelwan Airlangga

Arsip tulisan-tulisan (akademik/non-akademik) mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada yang masih banyak salah dan terus belajar.