Terorisme dalam Studi Ilmu Hubungan Internasional dan Signifikansi Serangan 11 September 2001

Aldyth Nelwan Airlangga
7 min readNov 4, 2020

--

Terorisme secara umum menurut Heywood (2011) adalah adalah aksi menggunakan kekerasan yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan ketakutan dan kecemasan. Meskipun begitu, terorisme adalah suatu konsep yang sangat sukar diartikan dan dipahami. Hal tersebut dikarenakan sampai sekarang, tidak ada definisi tetap mengenai apa itu terorisme menurut PBB sebagai organisasi internasional. Seperti Studi Ilmu Hubungan Internasional yang memiliki beberapa perdebatan besar, terdapat juga perdebatan mengenai terorisme yang membuat diskursus mengenai terorisme semakin dalam dan menarik.

Menurut Frederich (2006) dalam Hakim (2020), terdapat dua gelombang perdebatan mengenai terorisme. Yang pertama adalah pasca Tragedi Munich pada tahun 1972. Tragedi tersebut berperan sangat signifikan dalam studi terorisme karena dapat dikatakan tragedi tersebut lah yang pertama kali membuat aksi terorisme ‘terinternasionalisasi’. Konflik antara Arab-Israel dibawa ke Olimpiade Munich yang menyebabkan jatuhnya 17 korban jiwa. Pasca tragedi tersebut, terjadi perdebatan antara negara selatan dan utara tentang bagaimana mendefinisikan terorisme. Negara utara mengajukan bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan melalui bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pelaku. Sementara, negara selatan tidak setuju karena masih banyak pergerakan yang bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan yang dilakukan oleh negara-negara selatan dari koloni mereka yang dilakukan melalui teror. Negara selatan berpendapat bahwa terorisme harus dilihat dari motif yang dilakukan oleh seseorang dalam melakukan aksi tersebut.

Gelombang kedua adalah pasca tragedi 11 September 2001 yang mengoncang dunia. Pasca tragedi tersebut, semua negara setuju bahwa terorisme adalah lawan bersama. Tetapi, masih tidak ada satu definisi terorisme yang disetujui oleh komunitas internasional. Meskipun komunitas internasional sepakat terorisme adalah lawan bersama, masih terdapat kebingungan tentang bagaimana mendefiniskan lawan yang dimaksud? Siapakah lawan yang dimaksud? Kembali terjadi perdebatan antara negara utara dan negara selatan. Negara selatan berpendapat bahwa harus ada daftar mengenai kelompok-kelompok terorisme sehingga musuh yang dimaksud jelas, sementara negara utara lebih ingin bahwa aksi terorisme lebih dinilai dari kasus per kasus. Sampai sekarang, tidak ada definisi pasti mengenai apa itu terorisme. Tidak ada juga konvensi yang dilakukan oleh PBB yang dapat mendefinisikan apa itu terorisme. Penjelasan di atas menegaskan bahwa terorisme adalah suatu konsep yang sangat elusif, susah dimengerti dan susah diartikan baik secara konseptual maupun secara operasional.

Terdapat tiga perspektif hubungan internasional yang dapat digunakan untuk mengkaji fenomena terorisme (Heywood, 2011). Yang pertama adalah realisme. Realisme percaya bahwa tindakan terorisme hanya bisa dilakukan oleh aktor non-negara. Fokus dari realisme adalah bahwa terorisme menganggu keteraturan yang ada di suatu negara dan kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara. Realisme juga percaya bawa aksi teroris dilakukan untuk mencari kekuatan politik. Mereka percaya bahwa kelompok teroris menargetkan masyarakat biasa karena tidak mampu bertarung melawan negara secara langsung. Heywood mengutip Machiavelli bahwa negara harus siap untuk melawan terorisme dengan cara apapun. Hal tersebut yang sering disebut sebagai ‘tangan kotor’, karena mereka mempunyai kewajiban untuk melindungi publik, politisi harus siap tangannya kotor dan mengesampingkan sentimen pribadi mereka untuk melindungi masyarakat.

Sementara itu, liberalisme yang biasanya berbeda pendapat dengan realisme kali ini berpendapat sama dengan realisme, bahwa yang bisa melakukan aksi terorisme ini hanyalah aktor non-negara. Bedanya, liberalisme lebih menekankan ke aspek ideologis. Liberalisme berpendapat bahwa terorisme mengancam nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan nilai-nilai lain dari liberalisme. Liberalisme juga percaya bahwa negara berhak untuk melawan aksi terorisme tersebut, meskipun terjadi kontradiksi karena biasanya cara yang dilakukan oleh negara untuk melawan terorisme bertentangan dengan nilai-nilai yang dibawa oleh liberalisme seperti demokrasi dan hak asasi manusia (Heywood, 2011).

Heywood melanjutkan bahwa perspektif ketiga untuk mengkaji terorisme adalah teori kritis. Berbeda dengan realisme dan liberalisme, teori kritis percaya bahwa terorisme adalah pembunuhan masyarakat tidak bersenjata yang dapat dilakukan oleh negara maupun aktor non-negara. Mereka juga berpendapat bahwa terorisme yang dilakukan oleh negara jauh lebih signifikan daripada terorisme yang dilakukan oleh aktor non-negara. Hal tersebut dikarenakan negara mempunyai kapasitas koersif yang jauh lebih besar daripada aktor non-negara. Menurut mereka, terorisme adalah ketika negara menggunakan kekerasan kepada masyarakatnya untuk mempertahankan kekuatan mereka atau mempertahankan pengaruh ekonominya kepada negara lain. Dalam konteks ini, teori kritis memperhatikan bagaimana Amerika Serikat mempertahankan hegemoninya. Teori kritis juga percaya bahwa pengetahuan umum yang ada tentang terorisme merupakan stereotype dan merupakan miskonsepsi. Konsepsi mengenai terorisme adalah konstruksi politik yang dibuat oleh negara untuk memberikan cap non-legitimate pada suatu kelompok atau organisasi yang dianggap mengancam keteraturan yang dibuat oleh negara.

11 September 2001 adalah tanggal yang tidak bisa lepas dari diskursus mengenai terorisme. Pada tanggal tersebut, terjadi peristiwa 9/11 di mana gedung tertinggi di Amerika Serikat pada saat itu yang bernama WTC diserang ditabrak pesawat yang dibajak oleh kelompok Al-Qaeda. Selain membuat adanya gelombang kedua perdebatan mengenai terorisme seperti yang sudah dijelaskan di atas, 9/11 benar-benar mengubah persepsi dunia mengenai terorisme dan menguncang hubungan internasional. Amerika Serikat sebagai pemenang perang dingin dianggap sebagai negara yang adidaya dan tidak memiliki saingan. Amerika Serikat adalah unipolar dan tidak dapat diserang dari manapun. Tetapi, terdapat kelompok teroris yang dapat menggoncang Amerika Serikat. Sentimen islamophobia juga mulai muncul setelah tragedi tersebut. Agama islam menjadi sangat lekat dengan terorisme karena pelaku dari aksi teror tersebut adalah kelompok ekstremis islam yang bernama Al-Qaeda. Narasi counter-terrorism semakin kencang dan menjadi justifikasi Amerika Serikat untuk menyerang Iraq yang pada saat itu dituduh mempunyai hubungan dengan Al-Qaeda. Bush yang merupakan Presiden Amerika Serikat pada saat itu menyatakan bahwa tujuan invasi ke Iraq ini adalah untuk mengakhiri dukungan yang diberikan Saddam Hussein kepada teroris, melucuti senjata pemusnah massal yang dimiliki Iraq, dan membebaskan rakyat Iraq (Hassan, 2012).

Tuduhan-tuduhan yang diberikan kepada Iraq tersebut tidak terbukti sampai akhir invasi. Hal tersebut menunjukkan penjelasan perspektif liberalisme tentang terorisme yang sudah dijelaskan di paragraf lima tulisan ini berkontradiksi dengan aksi counter-terrorism yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat sebagai negara liberal malah melanggar nilai-nilai liberalisme yang mereka promosikan. Secara tidak langsung, Amerika Serikat menunjukkan sisi otoritarian mereka dengan secara semena-mena melakukan invasi ke Irak serta tidak dapat membuktikan tuduhan-tuduhan yang mereka berikan. Pasca peristiwa tersebut, lahir juga istilah war on terror yang dikenalkan oleh Amerika Serikat, adanya war on terror tersebut tidak terlepas dari semakin signifikannya terorisme sebagai isu internasional setelah peristiwa tersebut (Heywood, 2011).

Peristiwa 9/11 tersebut juga menunjukkan bahwa terorisme adalah ancaman keamanan yang tidak dapat dilacak dan dapat terjadi kapanpun. Selain itu, aksi terorisme juga dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil, bahkan individual yang tidak bisa dibedakan dengan masyarakat umum lainnya. Taktik-taktik terorisme juga semakin berkembang dengan adanya tren terorisme dengan cara bom bunuh diri. Terlihat juga pergeseran terorisme yang dulunya melekat pada kelompok pemberontak yang melakukan usaha-usaha untuk melakukan perlawanan kepada rezim bergeser menjadi semata-mata melekat pada kelompok ekstrim yang menganut agama islam. Meskipun banyak pendapat yang mengatakan bahwa 9/11 mengeskalasi terorisme, terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa 9/11 itu terlalu dibesar-besarkan dan overrated (Heywood, 2011).

Salah satu contohnya adalah tulisan dari Juan Cole yang berjudul Think Again: 9/11. Cole (2006) berpendapat bahwa sebenarnya tidak banyak yang berubah pasca peristiwa tersebut. Tiongkok tetap menjadi kekuatan ekonomi baru, Tiongkok dan Taiwan tetap saling curiga dan belum berdamai. Secara garis besar, Cole berpendapat bahwa kondisi internasional pada saat itu sama saja seperti sebelum 9/11 dan tidak perlu membesar-besarkan dampak dari peristiwa tersebut. Asumsi populer seperti 9/11 adalah kemenangan Al-Qaeda juga dibantah oleh Cole karena nyatanya terjadi konflik internal di Al-Qaeda karena menyebabkan kemarahan besar dari Amerika Serikat serta membuat gerakan Al-Qaeda menjadi terhambat. 9/11 yang dianggap sebagai perwujudan clash of civilization menurut Samuel Huntington juga dibantah oleh Cole karena menurutnya, mayoritas muslim tidak anti barat. Mayoritas muslim masih percaya bahwa bentuk pemerintahan terbaik adalah demokratis.

Penulis akan menutup tulisan dengan pendapat mengenai pembahasan yang sudah dipaparkan di atas. Dari ketiga perspektif hubungan internasional yang dapat digunakan untuk mengkaji terorisme, penulis berpendapat bahwa perspektif yang harusnya digunakan adalah teori kritis. Hal tersebut dikarenakan melalui pendekatan kritis, maka masyarakat dapat menentukan apakah yang dianggap aksi teror benar-benar dapat dinilai sebagai aksi teror, khususnya setelah mengetahui motif suatu kelompok atau individu melakukan aksi tersebut. Selain itu, pendekatan realisme dan liberalisme menurut penulis juga terlalu naif dan berpihak pada negara. Seperti yang kita ketahui bersama, banyak sekali tindakan opresif dan represif yang dilakukan oleh negara yang dapat menyebabkan iklim ketakutan dan kecemasan. Hal tersebut dibenarkan untuk melindungi kekuasaan yang mereka punya dan keteraturan yang sudah ada dalam negara tersebut. Pembatasan bahwa terorisme hanya dapat dilakukan oleh aktor non-negara, membuat studi mengenai terorisme tidak dapat berkembang karena mengesampingkan kemungkinan negara untuk melakukan aksi terorisme.

Penulis juga berpendapat bahwa 9/11 benar-benar mengubah persepsi dunia mengenai terorisme dan memiliki dampak yang sangat besar. Tulisan Juan Cole yang menentang hal tersebut menjelaskan bagaimana Amerika Serikat secara ceroboh melakukan invasi ke Iraq tanpa bukti yang jelas. Penulis melihat bahwa tulisan Cole tersebut hanya menjadi penenang bagi masyarakat Amerika Serikat dan hanya untuk membuat hegemoni Amerika Serikat di dunia langgeng. Nyatanya, dunia sadar bahwa aktor sekuat Amerika Serikat dapat digoyahkan oleh organisasi kecil non-legitimate dan membuat dinamika hubungan internasional berubah. Munculnya gelombang islamophobia sudah cukup menjelaskan bagaimana dampak besar dari peristiwa tersebut. Diskrimani rasial terhadap umat muslim, khususnya di Amerika Serikat, juga memperlihatkan kenaikan yang tajam pasca peristiwa tersebut dan dapat dikatakan membenarkan clash of civilization yang dimaksud oleh Samuel Huntington.

REFERENSI

Cole, J. (2006). Think Again: 9/11. Foreign Policy, 26–32.

Hakim, L. (2020). Terrorism and Global Politics. Presentation. Yogyakarta

Hassan, O. (2012). Constructing America’s freedom agenda for the Middle East: democracy or domination. Routledge.

Heywood, A. (2011). Global politics. Macmillan Internatio

--

--

Aldyth Nelwan Airlangga

Arsip tulisan-tulisan (akademik/non-akademik) mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada yang masih banyak salah dan terus belajar.